Akademisi : Tragedi Tahun 1998 Bukan Pelanggaran HAM.
Jakarta, postbanten.net.
Akademisi dari Universitas Negeri Manado (UNM), Sulawesi Utara, Prof. Dr. OC Kaligis SH MH menyatakan tragedi tahun 1998 bukan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang diprotes oleh LSM.
” Bisa saja terdapat perbedaan pendapat, seperti contoh kasus pembantaian sebanyak 40.000 masyarakat Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Raymond Westerling, ” kata Prof Kaligis di Jakarta, Kamis.
Kaligis mengatakan pada tahun 1950 Westerling sempat ditangkap di Singapura dan Indonesia meminta ekstradisi terhadap Westerling tapi ditolak Pengadilan Singapura.
Masalah tersebut terkait pernyataan Prof Yusril Ihza Mahendra bahwa tragedi Trisaksi 1998 bukan pelanggaran HAM berat yang akhirnya diprotes oleh LSM.
Untuk itu sebagai akademisi Kaligis menyatakan perlu adanya penjelasan tentang silang pendapat mengenai HAM.
Menurut dia, Pengadilan Singapura tidak sempat mengadili Raymond Westerling sebagai pelanggar HAM, tapi Westerling diterbangkan kembali ke Belanda dan sempat singgah di Belgia.
Bahkan dari Belgia Westerling masuk ke Belanda sempat menulis sejumlah buku dan laris di Negara Kincir Angin itu menjadi orang yang paling disanjung.
Kaligis menambahkan mengenai perkara Abilio Jose Osorio Soares (mantan Gubernur Timor Timur) yang pernah dibela dalam persidangan melalui putusan Mahkamah Agung RI No.4 K/Pid.HAM. Ad Hoc/2003 maka Abilio Soares sempat dinyatakan bersalah tapi di tingkat Peninjauan Kembali (PK) dibebaskan dan dinyatakan bukan pelanggar HAM.
Kaligis yang pernah sebagai pengacara tiga presiden yakni HM Soeharto, BJ Habibie dan Prabowo Subianto mengatakan di Indonesia kasus kematian aktivis Munir Salim Said dikatakan sebagai pelanggaran HAM.
Jika peristiwa 1998 ada yang mengatakan bukan pelanggaran HAM, membandingkan dengan kejahatan Genosida yang dilakukan Adolf Hitler terhadap orang Yahudi dan pembantaian Manila dilakukan Tomoyoki Yamashita, tentu terdapat alasan untuk mengatakan peristiwa 1998 dan kematian Munir adalah kriminal biasa.
Itulah sebabnya, Kaligis berpendapat kematian Munir dibandingkan dengan pembantaian Raymond Westerling terhadap 40.000 rakyat Sulawesi Selatan dapat menimbulkan perbedaan pendapat.
Memang masalah peristiwa tahun 1998 dan kasus Munir selalu dijadikan langkah-langkah politik untuk mempermasalahkan pemerintahan masa lalu.
Dari segi pembukt kalau hal itu dibawa ke pengadilan, mungkin akan sulit menemukan orang-orang yang menjadi saksi terhadap pembunuhan oknum tertentu, termasuk penculikan yang dilakukan tahun 1998.
Selain itu, perkara Munir Said dinyatakan sebagai kasus pembunuhan dan hanya melibatkan pilot Polycarpus Priyanto, demikian Kaligis.
**** (adi)